Selasa, 12 Februari 2013

Fiktif tapi Nyata



Pelajaran pertama adalah olahraga, tapi gurunya absen. Biasanya, murid leleki kelas 3H sudah berhamburan ke lapangan bola, sedangkan para cewek mengadakan studi banding ke kantin, membandingkan makanan dari rumah versus kantin. Hari ini berbeda, mereka terlihatkan memanfaatkan jam kosong untuk bermusyawarah dalam rapat pleno ala murid SMP. Riko semangat untuk melakukan sesuatu, karena ia merasa batin dan raga murid sekelas teraniaya tiap pelajaran matematika. Ronggur pun tiba-tiba berdiri dan berteriak mengaplikasikan istilah-istilah yang baru didengarnya dari radio semalem sambil nunjuk-nunjuk kea rah teman-temannya, lalu secepat kilat ngumpet di belakang badan suburnya si Rony, dia merasa jika hal ini dibiarkan akan mengakibatkan murid sekelas terkena depresi dan phobia. Menurutnya ini adalah penindasan kaum lelaki, serta penindasan terhadap hak asasi manusia, hingga ia berusul untuk mengajak murid laki-laki untuk kabur tiap pelajaran matematika. Idenya itu jelas untuk mendukung hobi bolosnya pada jam pelajaran matematika. Alasanya sepelenya karena guru matematika killer bin nazong. Alasannya seriusnya karena otaknya tidak cukup mampu menyerap hitung-hitungan tingkat lanjut, apalagi ditambah dengan rumus-rumus. Entah setan apa yang menahan dia hari ini di kelas. Roni mengiba sambil tetap menjejalkan bakpao ke dalam mulutnya, dia merasa sudah sebulan ini nafsu makannya anjlok karena kepikiran Pak Tigor dan kezalimannya. Dia memohon agar teman-temannya tidak membiarkannya merana dan jatuh kurus. Freddy, sang ketua kelas, memasang tampang serius. Sementara 34 pasang mata memandang focus, mendambakan ide cemerlangnya. Freddy berkata bahwaia butuh udara segar agar bisa berpikir jernih, lalu ia berjalan ke luar kelas , yang lain menunggu sambil berbisik-bisik. Dua puluh lima detik kemudian, semua penghuni kelas terperanjat karena Freedy tiba-tiba berlari masuk ke dalam kelas. Juwita tiba-tiba melolong dengan dahsyat, berteriak agar semuanya diam karena Freddy sudah mendapat ide, mencoba menarik perhatian Freddy. Kelas pun hening bagai kuburan dan semua mata kembali tertuju ke Freddy yang malah grogi menjadi objek perhatian. Lalu dia menteriakan bahwa Pak Tigor sedang menuju ke sini, sambil berlari ke tempat duduknya.
Rupanya, jam pelajaran sudah berganti dan sialnya penjaga sekolah lupa lagi memukuli besi berkarat berbentuk velek mobil alias lonceng sekolah. Freddy jelas berhasil membuat seluruh penghuni kelas berlarian dengan cemas menuju kursi masing-masing, kemudian diam, menundukkan kepala, dalam hati mungkin sambil mendendangkan lagu mengheningkan cipta pada upacara bendera setiap Senin
Wajah tak ramah Pak Tigor pun nongol. Kumisnya saja sudah memperlihatkan ketidakadilan, bagian kiri lebih tebal dari bagian kanan. Sorot matanya tajam dan liar bagaikan tukang copet pasar malam. Raut wajahnya dingin menebarkan virus permusuhan. Suasana mencekam membuat Rinto tegang, mulutnya komat-kamit mirip dukun merapal mantra mengusir setan. Pak Tigor dengan kasar menarik kursi guru dan duduk. Bunyi gesekan antara kursi besi dan lantai semen itu menandakan perang segera dimulai. Pertanda buruk bagi seluruh umat manusia penghuni kelas 3H!
Tanpa basa-basi, Pak Tigor mulai berkoar tentang materi pelajaran. Semua mata tertuju padanya, namun tak sepasang mata pun berani melihat langsung ke wajahnya, apalagi mata ketemu mata. Bagi mereka, Pak tigor bagaikan Medusa, perempuan berambut ular, yang mampu mengubah manusia jadi batu lewat tatapan matanya. Semua berusaha berkonsentrasi dengan rumus yang diberikan, namun secepat rumus itu masuk ke otak, secepat itu pula pergi meninggalkan otak hanya karena rasa takut yang menyerang. Selesai berkoar dan mencoreti papan tulis dengan contoh-contoh soal dan penyelesaiannya, Pak Tigor akan memulai momen penderitaan lewat sesi tanya jawab. Suara Pak Tigor menggelegar bernada intimidasi, angker bagaikan suara laki-laki yang baru dipersunting Kuntilanak, dia bersedia bertanya dari penjelasan rumus-rumus yang berhubungan dengan lingkaran tadi, dan contoh-contoh soal yang sudah dia berikan bila ada yang tidak dimengerti. Semuanya tertunduk diam, tak ada yang berani bertanya atau mungkin tak tau harus bertanya apa.
Karena tidak ada yang bertanya, Pak Tigor menganggap siswa sekelas sudah mengerti, sekarang malah sebaliknya jadi dia yang akan bertanya. Dia pun mendengus, mirip banteng yang siap mencabik-cabik matador di hadapannya. Jantung Rinto berdegup semakin kencang. Dia menunduk dan kembali merapal mantra yang kedua, yaitu mantra tolak bala. Dia tak sudi jadi korban Pak Tigor hari ini. Riko, teman semejanya, berniat menenangkan Rinto, tapi dia tidak berani membuat gerakan yang dapat memancing perhatian Pak Tigor. Saat itu, mereka serasa tikus-tikus dalam liang yang berhadapan dengan ular kobra lapar. Setiap gerakan berarti bencana!
Kasihan Rinto, mantra tolak balanya tidak cukup mempan, karena tiba-tiba Pak Tigor bergerak ke arahnya. Dia menutup mata mengharapkan mukjizat yang mengubah arah langkah.

1 komentar: